Ulama Khosyah

 

Oleh : KH. Didin Hafidhuddin

Terdapat dua ayat dalam Alquran yang memuat kata-kata ulama, yaitu dalam surat As-Syura ayat 197 dan surat Fathir ayat 28. Ayat yang pertama, walaupun asbabun-nuzul-nya berkaitan dengan ulama Bani Israil, tetap substansinya berlaku universal, yaitu ulama adalah kelompok orang yang memiliki pengetahuan keislaman yang mendalam yang berbeda dengan yang lainnya. Mereka mampu memberikan solusi dan jawaban terhadap berbagai permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.

Sedangkan ayat kedua menjelaskan bahwa ulama adalah kelompok orang yang hanya memiliki rasa takut dan rasa cinta yang bersifat absolut kepada Allah SWT (khosyah). Kecintaan dan rasa takut kepada-Nya menyebabkan mereka memiliki perilaku yang selalu disesuaikan dengan ketentuan-Nya.

Keberpihakannya sangat jelas, yaitu kepada kebenaran dan keadilan yang bersumber dari ajaran-Nya. Pancaran dari sikap ini tampak pada kejujuran ucapan, kehati-hatian dalam mengambil sikap, keteladanan akhlak, serta orientasi pemikirannya yang selalu diarahkan pada amar ma’ruf nahi munkar dalam pengertian yang luas.

Demikian pula kerendahan hati kepada sesama orang-orang yang beriman dan ketegasan sikap pada perilaku orang-orang yang buruk, tampak sangat menonjol. Kasih sayang kepada orang-orang yang lemah dengan melakukan berbagai macam kegiatan pemberdayaan dan advokasi, selalu merupakan pilihannya. Kelompok ulama inilah yang termasuk kategori kelompok orang yang menjadi hamba milik Allah SWT.

Ini sebagaimana dinyatakan dalam hadis riwayat Thabrani dari Ibn Umar, Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah SWT memiliki hamba-hamba yang secara khusus membantu memenuhi kebutuhan hidup manusia. Orang-orang datang kepada mereka menyampaikan kebutuhannya. Itulah orang-orang yang selamat dari azab Allah.”

Yang perlu kita sadari bersama bahwa istilah ulama yang demikian mulia dan agung itu, tidaklah otomatis sama dengan istilah kiai atau ustaz. Ulama pasti kiai dan ustaz. Tetapi, belum tentu kiai dan ustaz termasuk ulama, jika tidak memiliki kedua persyaratan tersebut di atas, walaupun masyarakat banyak menyebutnya sebagai ulama. Dalam berbagai hadis dikemukakan bahwa ulama adalah waratsatul-ambiya (ahli waris para nabi), baik ilmu pengetahuannya maupun akhlak dan kelakuannya, sekaligus perjuangannya.

Dalam dunia perpolitikan di Indonesia sekarang ini, peran para ulama tetap jelas, nyata, dan diperlukan selama mereka bertujuan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, memperbaiki tingkah laku masyarakat, sekaligus memberi contoh dan suri teladan. Tidak selayaknya ulama waratsatul-ambiya menjadi alat kekuasaan kelompok yang ambisius pada jabatan dan kedudukan yang berusaha meraihnya dengan segala macam cara, termasuk melakukan kebohongan-kebohongan kepada publik, apalagi disertai dengan iming-iming materi yang sifatnya sesaat dan fatamorgana. Wallahu a’lam bis-shawab. Republika Online

Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidakan akan pernah kami publish Kolom yang wajib diisi ditandai *