Tulisan Ulil
Tulisan Ulil
Pertanyaan:
Abu Azwa – Jaksel
Assalamu‘alaikum Wr. Wr. Kepada Ustadz yang dirahmati Alloh. Tolong tulisan Ulil dibawah ini ditanggapi secara gamblang. Terimaksih Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam
Jawaban:
Ulil dan rombongan JIL-nya tentu sangat menikmati kepopuleran mendadak karena tulisan anehnya ini. Orang arab pernah bilang, bila kamu ingin terkenal, kencingi saja sumur zam-zam. Kalau ingin dikenal orang, upayakan melakukan hal-hal yang aneh dan melawan arus, maka kamu akan dikenal. Rupanya ilmu para artis untuk selalu bikin gossip mengenai dirinya sendiri agar selalu dimuat media, juga dipakai oleh makhluk macam ulil ini.
Kami yakin bahwa Ulil bukan tidak tahu resiko tulisannya itu pasti mendapat tentangan dari para ulama dan umat Islam. Bahkan forum ulama Bandung pun sudah menjatuhkan ‘vonis mati’ baginya. Namun dengan santainya Ulil hanya mengatakan bahwa itukan cuma fatwa, jadi tidak mengikat. Justru makin mendapat kecaman dan tentangan, makin ‘besar hidungnya’. Rupanya reaksi keras dari umat dijadikan semacam nutrisi dan sel penambah darah yang makin menyehatkan tubuhnya.
Setelah generasi tua kehabisan nafas, macam Cak Nur, Gusdur, Atho‘ Muzhar, Munawir dan rombongannya, kini giliran ‘kecebong’ masuk gelanggang permainan. Tapi nampaknya mereka kehabisan thema dan ide. Karena lagu yang dinyanyikan hanya itu-itu saja. “Islam bukan formalitas, semua agama sama, perlu penafsiran ulang dan lain-lain”. Tema-tema itu lebih mirip paket katering yang bisa dipesan via telepon dengan tarip tercantum. Yang beda hanya kemasan dan penamaan saja. Lainnya, ya itu lagi-itu lagi.
Tema itu oleh generasi tua mereka sudah sering diperdengarkan. Ibarat rombongan pengamen yang kurang kreatif tidak bisa mengarang lagu baru. Thema itu oleh para pendahulu mereka macam Hasan Hanafi di Mesir pun sudah sering dinyanyikan. Dan benang merah antara satu generasi ke generasi kelihatan jelas sekali.
Hanya bedanya dengan semacam Cak Nur, ulil ini tidak ‘mengoreksi’ atau mengelak sedikit sedikit. Cak Nur biasanya bila ‘diserang’ balik, dengan santai dan cerdik akan menjawab, “Anda tidak mengerti maksud saya…….”. “Maksud saja tidak seperti itu. . .”Oh maksud saya begini”. Begitu juga gusdur dan yang segenerasi. Ulil belum kita dengar apologinya. Apakah dia termasuk yang hobi membentur tembok karena kurang cerdas, atau memang trendnya sedikit bergeser.
Tapi satu hal yang pasti, apa-apa yang ditawarkan oleh para penjaja sampah pikiran ini tidak akan pernah laku. Ingatlah bahwa sejak tahun 1971 dengan lantang Cak Nur sudah cuap-cuap dengan ide-ide sekulernya, anti jilbab, anti simbolisme dan penafsiran ulang.
Tapi apa yang kita lihat justru sebaliknya, gairah menjalankan syariah Islam justru semakin menggebu di tengah umat Islam. Ide mengganti Assalamu ‘alaikum dengan selamat pagi made in gusdur, justru kandas dan kini dimana-mana orang-orang lebih fasih mengucapkan salam khas Islam ini. Tuduhan jilbab itu pakaian arab pun tidak ada yang beli, justru makin banyak saja orang pakai jilbab bahkan kalangan artis pun berduyun-duyun menggunakannya.
Yang perlu kita lakukan justru memberi belas kasihan kepada rombongan JIL ini. Mereka sudah habis-habisan mengobral semua harga bahkan ada yang dijual dengan diskon 100 persen, tapi tetap sepi pembeli dan pasar lesu.
Buat ulil, sudahlah, jalan yang anda lewati itu cuma jalan buntu, sudah banyak orang gagal lewat jalan itu dan terpaksa kembali lagi. Sebelum terlalu jauh, kembali saja dan cari arah yang lebih tepat. Persis seperti yang dikatakan Steven Covey, lebih baik berhenti sebentar untuk berpikir jernih daripada terus bekerja yang tidak jelas hasilnya.
Generasi tua anda sudah gagal menurut anda, dan nampaknya bayang-bayang kegagalan terus mengintai generasi anda juga. Kegagalan mereka bukan pada cara, tapi pada isi dagangan yang kurang sesuai dengan selera masyarakat pembeli disini. Mungkin kalau dagangan anda ini dijual di Amerika sana yang memang tidak kenal Islam sebelumnya, siapa tahu ada yang beli. Tapi umumnya pembeli disini cerdas dan orang betawi bilang, ”Buaya nggak bisa dikadalin”.
Kenapa misalnya anda tidak meneruskan kuliah dengan baik, mengambil spesialisasi bidang-bidang ilmu-ilmu ke-Islaman yang beragam. Otak anda kan termasuk encer, pena anda pun cukup tajam. Bahwa anda pernah dikeluarkan dari LIPIA tempat anda belajar dahulu, ya sudahlah lupakan saja. Toh kesempatan belajar masih banyak dan anda masih muda. Sekarang ini ilmu anda tanggung, ulama bukan ilmuwan pun tidak mirip. Dari pada setiap hari didoakan yang jelek-jelek oleh umat Islam, mendingan anda khusyu‘ beribadah dan menuntut ilmu lebih tinggi lagi. Biasanya makin dalam ilmu seseorang, makin merunduklah dia dan makin berbobot suaranya.
Insya Allah lahan penghidupan bagi anda masih terbuka lebar. Dan ingat, umat Islam ini pemaaf lho. Kalau suatu hari anda muncul dan berbicara yang baik-baik sesuai dengan nurani anda sendiri, mereka pasti akan menjadi pendukung anda. Tidakkan anda merindukan menjadi ulama kharismatik model KH. Hasyim Asy‘ari, Prof. Dr. Buya Hamka, M Natsir, A. Hasan dan lain-lain, yang hingga kini masih dikenang dengan manis umat ini. Bukan menjadi cacat dalam sejarah sebagai orang yang dijadikan contoh buruk sebagai tokoh sekuler dan anti Islam. Kasihanilah anak cucu anda nantinya yang akan mewarisi nama buruk orang tuanya. Hari ini tidak ada orang kenal Ahmad Wahib yang bergolak itu. Padahal dia sudah mati-matian pingin populer dengan semua pergolakannya. Toh namanya tidak pernah disebut dan malah dilupakan orang.
Sebagai saudara muslim, kami mendoakan anda kembali ke jalan yang terang dan diberi hidayah oleh Allah. Maafkan bila ada kata yang menyinggung hati anda. Semoga Allah menegakkan Islam ini dengan keinsyafaan anda. Semoga Allah melapangkan hatimu, nak.
Sekedar tanggapan: Ulil menulis: “Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.”
Tidak mungkin ulil tidak tahu bahwa jilbab, potong tangan, qishash, rajam itu semata-mata budaya arab. Karena semau itu ada dalilnya dalam Al-Quran dan Sunnah. Kalau jubah dan jenggot, barangkali masih bisa ditolelir bahwa ada faktor budayanya. Jenggot meski bukan merupakan kewajiban, paling tidak ada nash yang manganjurkannya. Sedangkan jubah murni budaya arab yang tidak mengandung tasyri‘. Tapi potong tangan, qishash dan rajam itu bukan sekedar kewajiban, bahkan masuk dalam perkara hudud yang penerapannya sangat mutlak. Tidak ada ulama yang menentangnya sepanjang sejarah kecuali pada zindiq dan munafikin.
Jilbab bukan sekedar pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum. Ini panfsiran yang sesat sekali. Masalahnya, standar kepantasan umum itu apa? Dan umum yang mana? Indian Amerika, Aborigin, suku asmat? Koteka?
Kalau sekedar standar kepantasan umum, seharusnya surat Annur: 31 dan Al-Ahzab: 59 itu dihapus terlebih dahulu. Ganti dengan ayat yang bunyinya “Wahai orang yang beriman, pakailah pakaian yang sesuai dengan selera masing-maisng daerah”. Silahkan buat sendiri nama surat dan nomor ayatnya. Dan bila meminjam logika anda, toh tidak sulit bagi Tuhan yang kuasa untuk membuat satu ayat seperti itu. Nyata tidak kita temukan ayat dan hadist demikian.
Larangan kawin antara perempuan Islam dan laki-laki non muslim yang anda katakan tidak relevan lagi, peraturan itu bukan semata-mata dari Al-Quran tapi dari Sunnah dan sumber syriah yang lain. Rupanya anda ingin mengecoh dengan mengatakan kalau AL-Quran tidak mengatakan secara tegas, berarti boleh digonta-ganti seenaknya. Tidak demikian.
Ulil menulis: “kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi. “.
Ungkapan ini adalah jiplakan total dari para tokoh sekuleris dan orientalis. Memisahkan agama dan negara. Barat pernah melakukannya dan kini mereka terpuruk dalam jurang kehancuran moral dan kemanusiaan. Hidup mereka terlalu kering dan hampa. Lalu tenggelam dalam aneka kriminalitas, penyimpangan sosial, kegamangan dan akhirnya kehancuran nilai-nailai kemanusiaan. Jadi ide ini terbukti tidak baik. Cukuplahj barat jadi korban ide liar yang sering dihembuskan oleh para yahudi.
Ulil menulis: “Islam-seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain-adalah “nilai generis” yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran “Islam” bisa ada dalam filsafat Marxisme. ”
Kalimat ini mudah sekali dibengkokkan maksudnya. Bila kita arahkan pada kalimat terakhir, jelas ulil mengatakan bahwa kebenaran Islam bisa ada dalam filsafat marxisme. Disatu sisi memang benar, tetapi bisa saja ditafsirkan terbalik, bahwa marxisme itu pun mengandung nilai-nilai kebenaran Islam. Penafsiran terbalik ini mungkin yang diharapkan ulil agar dipahami demikian, tetapi dia siap-siap menghindar bila dituduh menyamakan Islam dengan marxisme dengan menggunakan gaya ungkapan ‘bisa jadi‘.
Ulil menulis: “Upaya menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional. Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di muka Bumi. ”
Ungkapan ini sangat subjektif dan terlalu jauh. Umat Islam memang tidak berdaya dan punya masalah menghimpit. Tetapi penegakkan syariah bukan sekedar berangkat dari ketidakberdayaan apalagi meninggalkan cara rasional. Dalam alam pikiran ulil, pokoknya yang berbau syariah berarti tidak rational. Jelas ini pelecehan sepihak. Justru sebaliknya, Syariah itu sangat rasional. Sebagai contoh, bunga dari hutang luar negeri kita tiap hari mencapai 20 juta US. Ini akibat dari diterapkanya sistem bunga yang ribawi dan dimusuhui semua agama. Islam datang dengan solusi rasional, hilangkan riba dan ganti dengan bagi hasil dimana semua pihak punya tanggung-jawab dan bisa sama-sama untung. Makan bunga dari hutang negara miskin macam Indonesia justru tidak rational.
Kalau pencuri hanya sekedar dipenjara, maka tidak ada lagi ruang yang cukup untuk menampung para pencuri di negeri ini.Selain itu, negara pun dirugikan karena harus memberi makan, pakaian, kesehatan dan sebagainya kepada ribuan pencuri yang menghuni penjara. Islam datang dengan solusi rasioanl dan hemat. Pencuri dengan nisab yang memadai dan terbukti secara sah, potonglah tangannya. Ini menjadi pelajaran bagi calon pencuri yang lain untuk tidak main-main dengan hukum. Uang belanja negara pun hemat karena tidak perlu memberi makan, pakaian dan semua biaya penjara. Dan shok terapi ini selama 15 abad lamanya terbukti majur. Negeri yang masih menjalankan potong tangan adalah negeri teraman di dunia dari segi pencurian. Silahkan gunakan rasio dan tinggalkan tuduhan mengada-ada.
Ulil menulis: “Pandangan bahwa syariat adalah suatu “paket lengkap” yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan.”
Memang syariah Islam itu datang dri Allah bukan dalam bentuk jadi seperti sebuah kitab undang-undang hukum pidana lengkap dengan bab dan pasalnya. Semua itu membutuhkan kodifikasi dan penyusunan ulang yang -alhamdulillah- sebagian besarnya telah dikerjakan oleh para ulama terdahulu. Tapi dalam penyusunnan itu, tidak ada nilai yang dibuang dan tak satupun aturan itu yang diselewengkan. Tapi dalam ungkapan ulil, seolah-olah semua produk syariah itu merupakan kemalasan berpikir atau lari dari masalah. Padahal para ulama ketika menyusun kitab-kitab fiqih telah melakukan ijtihad yang sangat dalam dan sampai hari ini pintu ijtihad itu tidak pernah tertutup. Terutama pada hal-hal yang terkait dengan perkembangan zaman dan budaya. Tapi kalau masalah yang memang tidak memerlukan perubahan karena akan selalu sama kapan dan dimanapun, buat apa diotak-atik lagi.
Ulil menulis: “Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah “proses” yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina ‘indal Lahil Islam (QS 3: 19), lebih tepat diterjemahkan sebagai, “Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar).”
Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya. ”
Paragraf yang ini intinya jelas ingin mengatakan bahwa semua agana sama karena intinya semua menuju kepada kebenaran. Dengan gaya bahasa ini, diharapkan orang akan menfsirkan bahwa terserah kita mau beragama apa, semuanya baik. Bahkan pada waktunya, berpindah-pindah pun tidak apa-apa toh semuanya juga menuju kepada kebenaran. Juga diharapkan orang tidak perlu lagi merasa bahwa agama yang dianutnnya adalah paling benar, karena mungkin saja salah.
Ulil lupa barangkali pendpatnya ini pun mungkin benar dan mungkin salah. Dan kalau salah, berarti agama yang benar itu adalah Islam dan yang lain salah. Atau sebaliknya. Wallahu a‘lam bishshowab. Syariah Online