Syukur Ni’mat

 

Oleh : Mulyana

Dalam surat Al-Baqarah ayat 152, Allah SWT berfirman, ”Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” Ayat ini secara jelas dan gamblang memerintahkan kepada kita untuk selalu mengingat Allah dan bersyukur atas segala nikmat-Nya.

Secara bahasa, syukur berarti berterima kasih kepada Allah. Sedangkan Ar-Raghib Al-Isfahani, salah seorang yang dikenal sebagai pakar bahasa Alquran, dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran, mengatakan bahwa kata ‘syukur’ mengandung arti gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan.

Kesyukuran, pada hakikatnya, merupakan konsekuensi logis bagi seorang manusia, yang notabene sebagai makhluk, kepada Allah, sebagai Tuhan yang telah menciptakan dan melimpahkan berbagai nikmat. Namun, kerap kali manusia terlupa dan tidak bersyukur atas karunia-Nya.

Ketidakbersyukuran manusia, biasanya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, salah melakukan ukuran/menilai. Dalam konteks ini maksudnya bahwa manusia selalu mengukur suatu nikmat dari Allah itu dengan ukuran keinginannya. Artinya, jika keinginannya dipenuhi, maka ia akan mudah untuk bersyukur. Sebaliknya, jika belum dikabulkan, maka ia akan enggan untuk bersyukur.

Penilaian seperti ini jelas bertentangan dan cenderung menafikan nikmat yang diberikan. Penilaian yang benar adalah berdasarkan apa yang kita peroleh. Karena, apa yang kita inginkan belum tentu yang terbaik di hadapan Allah. Dan, belum tentu juga itu yang terbaik buat diri kita. Perhatikan firman Allah, ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS 2: 216).

Kedua, selalu melihat kepada orang lain yang diberikan lebih banyak nikmat. Perilaku ini hanya menyuburkan iri, hasad, dan dengki kepada orang lain. Sedangkan perilaku bagi orang beriman haruslah melihat kepada orang yang kurang beruntung. Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim, mengajarkan, ”Apabila seseorang di antara kamu melihat orang yang dilebihkan Allah dalam hal harta benda dan bentuk rupa, maka hendaklah ia melihat kepada orang-orang yang lebih rendah daripadanya.”

Ketiga, menganggap apa yang didapati dari nikmat Allah adalah hasil usahanya. Perilaku ini menumbuhkan sifat kikir dan melupakan Allah sebagai pemberi nikmat tersebut. Padahal, tidak ada satu nikmat pun yang datang dengan sendirinya. Melainkan, Allah yang telah mengatur semuanya. Firman Allah SWT, ”Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS 31: 12). Kini, mumpung Allah masih memberikan waktu, sudahkah kita mensyukuri semua nikmat-Nya? Wallahu a’lam bis-shawab. Republika Online

Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidakan akan pernah kami publish Kolom yang wajib diisi ditandai *