Perlunya Otokritik
Oleh : Heri Efendi
Seorang pemuda datang menghadap Nabi Muhammad Saw. Katanya, ”Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina.” Para sahabat kaget. Serentak pandangan mereka tertuju ke arah pemuda tadi, seraya mencaci kelancangan perkataannya. Nabi hanya berkata, ”Dekatkanlah ia.”
Setelah mendekat, pemuda itu duduk dan Nabi pun mengajukan pertanyaan, ”Sukakah engkau jika yang dizinai itu adalah ibumu.”
”Tidak, demi Allah lebih baik aku menjadi tebusanmu,” jawab pemuda itu.
”Kalau begitu, orang juga pasti tak suka ibunya diperlakukan seperti itu,” komentar Nabi pendek. ”Bagaimana jika yang dizinai itu anakmu,” tanya beliau kemudian.
”Tidak, demi Allah lebih baik aku menjadi tebusanmu,” jawab sang pemuda.
Nabi pun menimpali, ”Kalau begitu, orang lain pun tak akan senang anak perempuannya dizinai.”
Beberapa pertanyaan senada terus dilontarkan Nabi. Beliau hanya ingin mengetahui apakah si pemuda itu rela jika yang dihinakan itu adalah saudari kandung atau bibinya sendiri. Namun, setiap kali pertanyaan itu didengarnya, tak ada yang bisa dilakukan sang pemuda kecuali menyerah di hadapan kejujuran nuraninya. Untuk setiap pertanyaan itu ia memberikan jawaban, ”Tidak, lebih baik aku menjadi tebusanmu.”
Setiap sang pemuda memberi jawaban, Nabi selalu memberikan komentar yang sama.
Inti dari hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad di atas menyiratkan pesan otokritik bagi setiap kita. Di sini Rasulullah mengajarkan satu sikap efektif yang harus dimiliki setiap Muslim. Beliau mengingatkan tentang pentingnya empati dalam dinamika kehidupan bersosial. Empati yang dimaksud adalah berbaurnya hati dan pikiran dengan apa yang dirasakan oleh orang lain. Dalam tataran inilah Nabi menekankan bahwa empati memiliki fungsi ganda yang sangat strategis: mendorong berbuat kebajikan dan mencegah berbuat zalim.
Zina adalah perbuatan amoral yang dilarang agama. Karena, dampak negatif yang ditimbulkannya sangat besar, maka syariat mengkategorikan zina ke dalam tindakan kriminal yang diancam hukuman berat bagi para pelakunya.
Walau demikian, zina hanyalah satu dari sekian bentuk perbuatan haram yang kerap kali kita temukan di tengah masyarakat. Pembunuhan, penipuan, korupsi, dan sebagainya adalah perbuatan zalim sejenis zina. Ia tidak saja menjerumuskan individu pelakunya pada kesengsaraan dan kehinaan di dunia dan akhirat, tapi juga berdampak negatif bagi kenyamanan orang lain: merampas ketenteraman dan mengganggu kesejahteraan mereka.
Muslim yang baik adalah yang memiliki empati tinggi. Ia akan selalu berusaha memahami sebelum dipahami orang lain. Setiap kali hatinya tersakiti segera nuraninya akan berkata, ”Betapa sakit orang lain jika mendapat perlakuan seperti itu dari diriku.” Republika Online