Nilai Manusia

 

 

Oleh : Fatimah Achmad

Abu Said Al-Khudri, seorang sahabat terkenal, menuturkan bahwa Abu Bakar pernah bercerita di hadapan Nabi saw. Saat itu Abu Bakar menuturkan pengalamannya melihat seorang lelaki berwajah tampan sedang melakukan salat dengan khusyuk ketika melintasi padang pasir. ”Pergi dan bunuhlah orang itu,” kata Nabi. Abu Bakar segera pergi menemui lelaki itu, yang masih dalam keadaan seperti semula. Abu Bakar ragu untuk membunuhnya. Akhirnya ia kembali kepada Rasulullah.

Nabi kemudian memanggil Umar bin Khatab. ”Pergilah ke sana dan bunuhlah lelaki itu,” perintah Nabi kepada Umar. Umar pun segera pergi. Umar melihat lelaki itu sedang larut dalam ibadahnya. Umar tidak sampai hati membunuhnya. Akhirnya ia pun kembali menghadap nabi. ”Wahai Nabi, yang aku lihat adalah seorang lelaki yang sedang salat dengan sangat khusyuk. Aku tidak tega membunuhnya,” ujar Umar. Nabi akhirnya menyuruh Ali untuk membunuhnya.

Ali segera pergi ke sana, tetapi ia tidak menemukan lelaki itu. Ali kembali menghadap Nabi, lalu memberitahukan hal itu kepada Beliau. Nabi berkata, ”Orang itu dan kawan-kawannya membaca Alquran hanya sampai tenggorokan. Mereka telah keluar dari agama bagai anak panah melesat dari busurnya. Bunuhlah mereka! Karena mereka adalah seburuk-buruk makhluk di muka bumi.” (HR Muslim).

Dalam hadis lain dikisahkan bahwa seorang kali-laki lewat di hadapan Nabi saw. Lalu Nabi bertanya kepada para sahabat, ”Bagaimana pendapat kalian mengenai laki-laki ini?” Mereka menjawab, ”Laki-laki ini pantas jika melamar, dinikahkan; jika meminta tolong, ditolong, dan jika berkata, didengar.” Nabi diam.

Kemudian lewat lagi laki-laki Muslim dari kalangan kaum fakir miskin, maka Nabi bertanya, ”Bagaimana pendapat kalian tentang laki-laki ini?” Mereka menjawab, ”Laki-laki ini pantas; jika melamar, ditolak lamarannya; jika meminta tolong, tidak diberi pertolongan; dan jika berkata, tidak didengar.” Maka Rasulullah bersabda, ”Laki-laki terakhir ini lebih baik daripada sepenuh bumi laki-laki seperti itu.” (HR Bukhari)

Kedua kisah tersebut di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa nilai baik buruknya manusia tidak dilihat hanya dari penampakan luarnya saja.

Manusia dianggap baik bukan karena ketampanannya, kekayaannya, jabatan/kedudukannya, kepintarannya, keterpandangnya atau keterhormatannya di mata masyarakat. Begitu pula manusia dianggap buruk bukan karena kejelekan rupa dan kemiskinan serta kedudukannya di masyarakat.

Namun, nilai manusia itu, baik atau buruk, di mata Allah bergantung pada ketakwaannya. Seorang miskin yang bertakwa lebih mulia bila dibandingkan dengan seorang ulama yang membohongi umatnya, yang menyimpangkan pemahaman umat terhadap kemurnian ide Islam, meskipun ilmunya lebih banyak. Mahasuci Allah yang menilai manusia bukan karena sesuatu yang tampak. Republika Online

Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidakan akan pernah kami publish Kolom yang wajib diisi ditandai *