Menjaga Ucapan
Oleh : Roni Ismail
Rasulullan SAW bersabda, ”Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (HR Ibnu Majah). Begitu dalamnya arti ucapan dan peranannya bagi manusia, sehingga Baginda Nabi Muhammad menjadikan berucap baik sebagai ciri seorang mukmin. Ucapan seringkali dimaknai sebagai cermin muru’ah seseorang. Ucapan kasar adalah cermin kepribadian yang kasar pula, begitulah sebaliknya.
Karena ucapan adalah indikasi terhadap kepribadian (khuluqiyah) seseorang, erat kaitan ucapan sebagai kenyataan dengan akhlak atau kepribadian yang tersembunyi. Dalam hal ini Allah memperingatkan, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengangkat suaramu di atas suara Nabi.” (QS Al-Hujurat: 2).
Untuk menghindari salah guna ucapan di dalam kehidupan bersama, Nabi memberikan alternatif bijak yaitu diam. Diam merupakan usaha yang paling minimal dari manusia tanpa menguras tenaga dan mengorbankan materi, bahkan tanpa pemikiran mendalam. Artinya, semua orang dapat melakukan diam tanpa terkecuali.
Petuah tentang diam ini punya tempat spesial dalam wacana etika Islam. Di dalam literatur akhlak-tasawwuf, diam dibahas dalam bab khusus fadhilatus shamti (keistimewaan diam) sebagai salah satu keutamaan seseorang.
Islam tidak menyukai omongan yang kosong (QS 61: 2) dan sangat mencela ucapan yang menyebabkan bencana karena lisan seperti ghibah, fitnah, adu domba (namimah), dan kabar bohong. Untuk itu Allah menegaskan dalam surat Al-Hujurat ayat 6, ”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Islam dengan demikian hanya menganjurkan berucap perkataan baik yang bisa menumbuhkan kasih sayang sesama manusia, pembelajaran iman, pelurusan kemungkaran, serta saling menasihati atau taushiyah. Dalam keharusan taushiyah, surat Al-‘Ashr ayat 4 memperingatkan kita agar selalu melakukan itu dalam kebenaran dan kesabaran. Saling menasihati ini merupakan kewajiban agama, diperkuat dengan hadis Nabi, ”ad-dinu nasihah,” agama adalah nasihat.
Dalam konteks ucapan ini, nasihat menjadi sangat penting. Bagi orang yang berucap, nasihat diperlukan agar ucapannya tidak menebarkan kebencian dan menyakitkan lawan bicara. Sedangkan bagi yang menerima perkataan itu, arti penting nasihat agar ia tidak terluka jika mungkin terdapat ucapan yang mengakibatkan luka hatinya.
Kehati-hatian berucap adalah kunci utama agar terhindar dari akibat negatif. Sebab, ucapan, seperti dalam pepatah Arab, lebih tajam daripada jarum. Luka oleh ucapan akan terasa lebih menghujam dan berbekas di dalam hati. Ucapan dapat menembus apa-apa yang tidak mungkin ditembus jarum, ”Al-kalamu yan fudzu ma la tanfudzuhu al-ibaru.” Republika Online