Mencari Solusi
Oleh : Zainul Ma’arif
Kita sering kali congkak, merasa benar sendiri dan tidak mengakui kesalahan, menyalahkan orang lain, dan tidak sadar bahwa kesalahan itu terkadang berawal dari kita. Kita dongakkan kepala dan kita rendah-rendahkan yang lainnya. Kita tuding makhluk di luar diri kita dan kita lupa untuk menuding diri sendiri.
Introspeksi tidak kita beri ruang. Konsep etika-filosofis Socrates sama sekali tidak kita jadikan sebagai pedoman: “Kenalilah dirimu”.
Kita sucikan diri sendiri, padahal kotoran yang sesungguhnya melekat pada diri kita. Tuhan berfirman: “…Fal tuzakkû anfusakum wa huwa a’lamu bi man-ittaqâ” (Q.S., an-Najam: 32). Janganlah kau sucikan dirimu! Hanya Tuhan yang paling tahu siapa yang bertaqwa.
Besar kepala adalah natijah dari sifat buruk di atas. Akal dan hati tidak lagi berfungsi, yang bergerak hanyalah egoisme. Biarpun ribuan orang memberi tahu kesalahan kita, kita akan tetap membusungkan dada dan berkata “saya benar dan saya pasti selalu benar”. Entah, kekuatan apa yang bisa menyadarkan manusia yang telah mencapai kepada “derajat” semacam itu. Mungkin kehancuran dari hasil kesalahannyalah yang dapat menyadarkannya.
Dalam hal ini, dialah yang menanggung kesalahan perbuatannya itu seratus persen. Tuhan sama sekali tidak bertanggung jawab. Tuhan telah membekali manusia dengan potensi kebaikan dan keburukan. Bekal itu murni diserahkan kepada manusia dan manusia bertanggung jawab dengan pilihan, dominasi sikap dan apa yang telah diperbuatnya. Tuhan berfirman: “fa alhamahâ fujûrahâ wa taqwâhâ. Qad aflaha man zakkâhâ wa qad khâba man dassâhâ”. (Q.S., asy-Syams: 8) Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaan (kebaikan dan keburukan). Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Sebagai antitesa dari sifat-sifat di atas, kita perlu mengedepankan sifat alternatif berupa rendah hati, selalu introspeksi dan siap mengakui kesalahan. Jika ratusan orang mengatakan bahwa perbuatan kita salah dan hati nurani kitapun mengatakan itu salah, seyogyanya kita tidak bersikeras untuk mengatakannya sebagai suatu kebenaran.
Dalam konteks keindonesiaan, sikap melemparkan kesalahan ke orang lain dan melupakan kesalahan diri sendiri adalah satu sikap yang membawa bencana bagi bangsa ini. Bangsa Indonesia terjangkiti sifat buruk membenarkan diri sendiri atau kelompok sendiri dan menyalahkan orang lain atau kelompok lain. Kita salahkan orang lain dan kita lupa bahwa kitapun kadang ikut andil di dalamnya.
Bangsa Indonesia sibuk menyalahkan satu dengan yang lainnya, sedangkan problem yang seharusnya kita carikan solusi bersama, kita abaikan. Bangsa Indonesia lupa bahwa common enemy kita adalah krisis multi dimensi, bukan kawan seiring, sesama anak bangsa.
Seyogyanya, kita punya kerendahan hati untuk mengakui kesalahan bersama dan memperbaikinya. Untuk selanjutnya, kita kedepankan pencarian solusi dari pada pencarian kesalahan. Di Renungan Ilir-Ilir Emha Ainun Najib berkata: “Masih tersediakah ruang di dada dan akal kepala kita untuk sesekali berkata kepada diri sendiri bahwa yang bersalah bukan hanya mereka, bahwa yang melakukan dosa bukan hanya dia, tapi juga kita”. Republika Online