Membangun Kapal Kehidupan
Oleh : H Shobahussurur MA
Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi setiap orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur. (Luqman: 31).
Pada ayat di atas, Allah SWT memperlihatkan salah satu kekuasaan-Nya berupa kapal yang berlayar di lautan. Kapal itu dapat berlayar mengarungi samudera berkat nikmat dari Allah. Allah memberikan contoh kapal sebagai tanda kekuasaan-Nya untuk kita jadikan pelajaran bagi kehidupan kita.
Perumpamaan sebuah kapal itu dapat dipahami. Bukankah kehidupan kita layaknya mengendarai kapal yang sedang terapung mengarungi samudera kehidupan?
Sebelum digunakan mengarungi samudera, kapal haruslah dipersiapkan dengan baik. Misalnya, dibuat dengan bahan-bahan berkualitas tingi, yaitu berupa amal saleh (suatu perbuatan yang bukan sekadar baik, tapi perbuatan baik yang sesuai dengan aturan-aturan agama). Kita berusaha memilih perbuatan yang bukan saja baik untuk diri kita, tapi baik untuk kepentingan orang lain.
Kapal juga harus dibangun oleh ahlinya. Bila kapal dibuat oleh sembarang orang, pasti dalam waktu yang tidak lama kapal itu akan rusak dan membahayakan bagi kehidupan kita. Rasulullah SAW pernah berpesan, kalau suatu urusan itu diserahkan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggu saja saat kehancurannya.
Selanjutnya, kapal tadi harus dijalankan oleh seorang yang mengerti cara mengendalikan kapal, tahu ke mana tujuan kapal, memahami seluk beluk samudera yang dilalui, dan menguasai ilmu yang terkait dengan pelayaran.
Demikian pula kapal kehidupan yang kita bangun, harus dijalankan oleh orang yang baik. Kapal kehidupan yang akan mengantarkan kita pada kehidupan yang kekal dan abadi, tidak mungkin diserahkan kepada seorang pemimpin yang bodoh, egois, dan tiran. Kita mesti memilih pemimpin yang adil, memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, visi dan misi jelas, jujur, dan mendahulukan kepentingan penghuni kapal.
Dalam mengarungi samudera, para penumpang kapal tidak selamanya berada dalam kondisi yang tenang. Tidak jarang ombak gulung-gemulung menyerang, badai dahsyat menghantam, dan karang tajam menghadang. Dalam kondisi seperti inilah para pemimpin harus mampu menenangkan para penumpang dan menjamin keselamatan mereka. Dalam konteks beragama, penyelamatan penumpang itu, antara lain, dengan menyeru manusia kembali kepada Allah, dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya sedekat-dekatnya.
Bukan hanya dalam kondisi kesempitan, dalam kelapangan pun pemimpin juga terus harus mengingatkan rakyatnya. Sudah menjadi kecenderungan, ketika harta telah diraih, kepandaian telah dikuasai, jabatan dan kekuasaan telah didapat, dan segala nikmat dirasakan, seringkali Allah kita lupakan, ibadah kita ditinggalkan. Kita lupa bersyukur. Kita lupa bahwa kapal kehidupan ini berlayar di atas samudra Allah Sang Maha Kuasa. Republika Online