Mari Berwakaf

 

Oleh : M Fuad Nasar

Diberitakan dalam hadis, suatu hari Umar bin Khattab minta saran Nabi Muhammad SAW bahwa ia mempunyai sebidang tanah di Khaibar, daerah pinggiran Madinah. Tanah itu sangat disukainya, tapi ia juga ingin hartanya itu bermanfaat bagi umat. Lantas apa yang harus ia lakukan? Nabi memberi saran; “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan hasilnya.” Itulah sejarah wakaf dalam Islam.

Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia (1992), wakaf, berasal dari kata waqafa yang menurut bahasa berarti menahan atau berhenti. Dalam hukum fikih istilah tersebut berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang, atau nadzir (penjaga wakaf), atau kepada suatu badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan kepada hal-hal yang sesuai dengan ajaran syariat Islam.

Wakaf adalah salah satu realisasi dari pelaksanaan perintah Allah dalam Alquran agar orang yang beriman menafkahkan sebagian hartanya di jalan Allah. Nabi SAW mewakafkan hasil dari tujuh pohon kurma kepada fakir miskin, orang telantar dan para pejuang sabilillah. Para sahabat juga berwakaf sesuai kemampuannya.

Umat muslim mengikuti tradisi Nabi dan para sahabat itu sampai kini, sehingga wakaf sebagai pranata keagamaan berkembang pesat di dunia Islam. Wakaf memiliki keistimewaan sebagai amal jariyah yang pahalanya tidak terputus meski orang yang mewakafkan hartanya telah meninggal dunia. Selain bernilai ibadah, wakaf memiliki fungsi sosial dan ekonomis.

Untuk bisa memberikan kemaslahatan kepada umat secara ekonomi, sosial dan moral, maka harta wakaf yang sekarang tidak hanya dalam bentuk benda tidak bergerak tetapi juga benda bergerak (wakaf uang dan lain-lain) harus dikelola secara profesional.

Bagaimana wakaf di Indonesia?
Meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, artikulasi wakaf dan prestasi yang diraih dalam pengelolaannya belum optimal. Dalam hubungan ini perlu disadari bahwa penyempurnaan regulasi di bidang wakaf memang perlu, tetapi regulasi bukanlah segalanya. Yang terpenting adalah bagaimana wakaf itu dilaksanakan sepenuhnya oleh umat Islam di tengah realitas hidup yang makin individualistik dan memuja materi.

Ada baiknya direnungkan pesan K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, delapan puluh tahun lalu, “Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agama meskipun harus menyumbangkan jiwamu sekalipun. Jiwamu tak usah kau tawarkan. Kalau Allah menghendakinya, entah dengan jalan sakit atau tidak, tentu akan mati sendiri. Tetapi beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentingan agama? Itulah yang lebih diperlukan sekarang ini.” Republika Online

Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidakan akan pernah kami publish Kolom yang wajib diisi ditandai *