Manusia Makhluk Sosial

Oleh : Mosiri Asyari

Allah menjadikan manusia sebagai hamba sekaligus khalifah di muka bumi, dengan fungsi melestarikan ciptaan-Nya yang disediakan sebagai fasilitas hidup. Fasilitas yang lengkap tak tertandingi ini disediakan secara gratis atau cuma-cuma. Allah SWT hanya memberi rambu-rambu kepada manusia untuk diperhatikan sehingga tidak tergelincir dan terjerumus ke dalam lembah kesesatan.

Di sinilah sifat rahman dan rahim (kasih dan sayang) Allah yang diberikan kepada semua hamba-Nya, secara merata tanpa pilih kasih entah itu laki-laki atau perempuan. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya surat An-Nahl ayat 97: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Ayat di atas merupakan indikator atau pertanda pentingnya berbuat baik di muka bumi, sekaligus sebagai motivator agar manusia tidak hanya menikmati fasilitas Allah, tapi juga melakukan kebaikan secara kontinu dan terus-menerus. Berbuat di sini tentunya dimulai dari individu-individu yang akhirnya akan berimbas secara kolektif.

Secara psikologis anjuran Allah dalam ayat tersebut sejalan dengan fitrah manusia yang cenderung untuk berbuat baik. Namun, kadang fitrah ini berubah menjadi jahat tak terkendalikan ketika manusia kehilangan sifat kemanusiaannya. Maka, untuk memulihkan keadaan yang demikian tentunya manusia perlu melatih diri untuk senantiasa mengingat Allah SWT.

Dalam era yang serba modern ini sering kita menyaksikan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, cenderung mementingkan kepentingan diri sendiri. Ego dan keakuan manusia telah mengalahkan kepentingan bersama. Mereka tidak lagi mempedulikan kepentingan orang lain.

Semua itu bisa terjadi lantaran minimnya pengetahuan mereka terhadap esensi makna agama yang mereka yakini sebagai pedoman. Mereka menomorduakan nilai sosial daripada nilai-nilai ubudiyah secara vertikal. Mereka lebih menyukai simbol-simbol daripada esensi nilai-nilai agama.

Mereka tampak religius dan agamis, sementara dalam keseharian tidak tecermin ajaran dan nilai-nilai agama.

Sebagai orang yang beragama, sifat-sifat ketuhanan, seyogianya menjadi cermin jiwa, kaca hati, dan perilaku kehidupan. Untuk mencapai semua itu diperlukan pemahaman agama secara benar dan melaksanakannya dengan konsisten (istiqamah). Hanya dengan itu, kita, mudah-mudahan, tergolong sebagai hamba yang saleh, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Republika Online

Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidakan akan pernah kami publish Kolom yang wajib diisi ditandai *