Imamah: Haruskah Kita Berbai’at Kepada Pak Hamidy ?

Heru – Pondok Bambu
Pertanyaan :

Saya pernah tanya kepada Sdr. Hamidy dari Jama’ah Muslimin: Apakah tokoh-tokoh Islam Indonesia juga berbae’at kepada Hamidy? Karena banyak orang Islam yang tidak membae’at Hamidy, beranikah Hamidy menyatakan bahwa mereka belum Islam yang baik?

Jawabannya: Al-hamdulillah, ada beberapa tokoh yang telah berbae’at kepada Imamul Muslimin (Bpk. KH. Muhyiddin Hamidy) dan kita do’akan semoga mereka istiqomah dengan bae’atnya. Amin. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa mereka yang tidak memiliki (berbae’at) kepada Imamul Muslimin, maka ia ada dalam kehidupan yang tidak halal, jika ia mati maka matinya laksana bangkai jahiliyyah, yaitu tidak ada keterikatan yang jelas antara dia dan Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan seseorang kepada Allah diukur dari seberapa besar ketaatannya kepada Rasul-Nya. Dan Ternyata ketaatan seseorang pun diukur pula atas seberapa besar ketaatannya kepada Ulil Amri (Imaamul Muslimin) hadits dan QS.4:59. Nah jika tidak memiliki (berbai’at kepada) Imamul Muslimin, bagaimana ketaatannya bisa diukur dengan jelas? Mohon tanggapan atas tanya jawab tersebut, supaya Ummat tidak bingung.

Jawaban:

Hadits yang menyebutkan adanya kewajiban seseorang untuk berbai’at kepada seorang imam tentu hadits yang shahih. Banyak hadits serupa yang menguatkannya dan tentu saja Al-Quran Al-Kariem pun memerintahkan demikian. Tapi sayangnya tidak ada satupun hadits – bahkan yang paling dhaif atau palsu- yang menyebutkan bahwa Imamul muslimin itu adalah bapak Hamidy. Sehingga kewajiban untuk berbai;at itu tetap ada dan wajib, tapi kalau HARUS kepada Pak Hamidy, pastilah tidak ada yang setuju.

Siapakah yang memberi mandat kepada pak Hamidy untuk jadi imamul muslimin. Bahkan ulama sekaliber Dr. Yusuf Al-Qaradhawi pun menolak ketika diminta untuk menjadi Mursyid Al-‘Aam Al-Ikhwan Al-Muslimun. Padahal siapa sih yang tidak kenal dengan sosok ulama satu ini. Beliau bukan hanya didukung oleh jamaah Ikhwan yang besar itu, tetapi umumnya mayoritas muslimin di dunia ini setuju bila beliau menjadi Mursyid Am. Namun beliau tawaddhu’ dan tidak merasa dirinya besar. Padahal jabatan menjadi Mursyid Al-Am itu belum lah selevel dengan imamul muslimin.

Lalu bagaimana tiba-tiba ada seorang yang unkown baik dari sisi pemikiran, kepemimpinan, keilmuwan, integritas, prestasi, karya atau sumbangan kepada dunia Islam, lalu mengangkat diri menjadi imamul muslimin? Bahkan menuding siapa pun yang belum berbai’at kepadanya sebagai bukan muslim? Tentu logikanya terlalu sederhana dan cenderung memanen kebingungan orang-orang seperti yang Anda alami sekarang. Ketahuliah bahwa membai’at imam itu wajib hukumnya. Tapi selama jamaatul musliminnya belum terwujud, bagaimana seorang mengangkat diri sendiri menjadi imamnya?

Yang ada sekarang ini barulah jamaah-jamaah muslimin dan belum lagi terbentuk jamaatul muslimin. Sehingga belumlah bisa diangkat seorang imam yang duduk memimpinnya. Kalau-lah mau dipaksakan, apa sih gunanya si imam itu ? Bisakah dia menumpas yahudi di Palesitna? Bisakah dia menumpas kafir palangis di Pilipina? Bisakah dia membantu muslimin di Cechnya, Kasymir, Iraq, Perancis dan seterusnya. Lalu manakah angkatan perangnya untuk menekan musuh? Karena kalau tidak punya power untuk menekan lawan, buat apa punya pemimpin yang hanya bisa bengong?

Jamaah sebesar dan selegendaris Al-Ikhwan Al-Muslimun saja masih merasa tidak pantas untuk mengangkat diri sebagai jamaatul muslimin. Mereka dengan tawaddhu’ tidak mau memaksa orang-orang Islam untuk berbai’at kepada Mursyid Al-Am-nya sebagai imamul muslimin. Mereka mengakui bahwa selain Ikhwan, masih banyak jamaah lainnya yang harus diakui sebagai sebuah kenyataan dalam dunia Islam. Masing-masing tentu punya peran dan jasa sesuai dengan amal yang telah lakukan. Lalu bagaimana seorang yang belum pernah terbukti integritasnya secara nasional apalagi international dunia Islam, tiba-tiba mengangkat diri menjadi imamul muslimin ?

Anda tidak berdosa bila tidak atau belum berbai’at kepada imamuil muslimin saat ini, karena kita memang belum punya imamul muslimin. Anda juga tidak dosa kalau tidak berbia’at kepada pak Hamidy, karena dia bukan imamul muslimin, tapi dia adalah imam bagi kelompoknya sendiri. Anda mau masuk ke dalam kelompoknya atau tidak, tidak satu pun dalil yang mewajibkannya. SyariahOnline

Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidakan akan pernah kami publish Kolom yang wajib diisi ditandai *