Hadiah
Oleh : Rofiq Nurhadi
Memberi sesuatu pada orang lain pada dasarnya adalah suatu perbuatan shalih. Rasulullah SAW sangat menganjurkan umatnya untuk dapat memberikan sesuatu yang berguna pada orang lain. Beliau pernah bersabda, ”Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah.” Namun, bagaimana kalau hadiah atau pemberian itu bernuansa politis?
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW pernah menyalahkan tindakan Ibnu Lutbiyah yang mengambil hadiah yang didapatnya waktu sedang menjabat sebagai petugas pengumpul zakat. Tentang sikap Ibnu Lutbiyah tersebut, Rasulullah SAW bersabda, ”… dengan wewenang yang diberikan Allah kepadaku, aku mengangkat seseorang di antara kalian untuk melaksanakan suatu tugas, (tetapi) dia datang melapor, ‘Ini untuk engkau dan ini untukku sebagai hadiah.’ Jika ia duduk saja di rumah bapak dan ibunya, apakah hadiah itu datang sendiri kepadanya, kalau barang itu memang sebagai hadiah? Demi Allah seseorang tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya, melainkan ia menghadap Allah nanti pada hari kiamat dengan membawa beban yang berat dari benda itu.” (HR Muttafaqun ‘Alaih).
Rasulullah SAW khawatir hadiah yang diberikan kepada Ibnu Lutbiyah dalam statusnya sebagai petugas pengumpul zakat tidak murni sebagai hadiah, tetapi ada maksud lain dari yang memberinya. Hal ini akan berpengaruh negatif bagi kebijakannya. Hadiah yang demikian bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan sikap kritisnya dalam menghitung berapa kewajiban zakat seseorang, karena lidahnya sudah terhimpit oleh hadiah yang diterimanya. Bahkan bisa saja pada saatnya nanti terjadi kolusi antara wajib zakat dan petugas.
Kasus Ibnu Lutbiyah dapat kita analogkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Semua komisi yang diterima seorang petugas dalam rangka menjalankan tugasnya bukanlah haknya. Karena, seandainya dia tidak menjabat sebagai petugas, tentu hadiah tersebut tidak diberikan padanya, termasuk juga jabatan pemilih dalam pemilu bagi rakyat yang telah mempunyai hak pilih.
Dengan kata lain, pemberian hadiah tersebut tak jauh berbeda dengan sogokan atau korupsi untuk mendapatkan tender, fasilitas, kemudahan, dispensasi, nilai baik, pembebasan hukuman, jabatan tertentu, atau pun suara rakyat dalam pemilu. Sehingga, sesuatu yang seharusnya tidak didapatkan bisa menjadi didapatkan karena mau memberi hadiah tersebut.
Pemberian atau sedekah bertendensi ini tak jauh berbeda dengan perilaku kemunafikan (keshalihan palsu). Ia bisa menjadi bumerang bagi cita-cita keadilan, potensial bagi tindak kezaliman, serta pemicu kesenjangan dan pertikaian.
Apabila hal itu dilakukan, maka bisa jadi orang yang seharusnya tidak lulus menjadi lulus, yang seharusnya dihukum menjadi bebas, yang mendapat tender atau fasilitas pun adalah orang yang mau memberi hadiah, serta yang terpilih menjadi anggota legislatif dan presiden bukanlah mereka yang berpotensi dan memiliki kredibilitas tertinggi tetapi mereka yang mau memberi hadiah alias menyogok. Republika Online