ALAA LAA

 

 

Oleh : Musyaffa’ Ahmad Rahim

Judul ini bukanlah senandung orang yang lagi diliputi suasana senang. Akan tetapi, judul ini adalah kutipan dari dua bait syi’ir. Kitab Ta’liimul Muta’allim menisbatkan dua bait itu kepada ‘Ali bin Abi Thalib (Radhiyallahu ‘anhu). Sementara dalam kitab Diwan Imam Syafi’i, dalam bab qafiyah nuun (syi’ir yang berakhiran huruf nun) dua bait syi’ir inipun ada, meskipun kata pembukanya bukanlah ALAA LAA.

Dua bait syi’ir itu lengkapnya adalah sebagai berikut:

Ketahuilah, engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali setelah memenuhi enam syarat.
Yaitu: Kecerdasan, semangat, sabar dan pakai ongkos (biaya) Petunjuk (bimbingan) guru dan dalam tempo waktu yang lama.

Dalam berda’wah, ilmu merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar. Istilah Arabnya: syai-un la budda minhu (sesuatu yang mesti dan tan kena ora).

Allah swt berfirman :
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu. (QS Muhammad: 19).

Mengomentari firman Allah swt ini, Imam Bukhari berkata : Ilmu dulu sebelum berbicara dan berbuat

Sudah pasti, da’wah termasuk dalam al qaul dan al ‘amal, karenanya, ‘ilmu dalam da’wah adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Gerakan ta’allama (belajar) dan ‘allama (pengajaran) harus gencar, mulai dari berbagai bentuk ta’lim; ada ta’lim fil masjid, ada ta’lim rutin, ada majlis ta’lim dan ada halaqah-halaqah ilmiyyah, baik di mushalla, ataupun rumah. Agar gerakan ta’allama dan ‘allama ini sukses –bi idznillah- marilah kita bahas dua bait syi’ir yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i di atas.

Dalam dua bait di atas, untuk sukses mendapatkan ‘ilmu, Imam Syafi’i menyebutkan enam syarat, yaitu:

1. Dzaka’ (kecerdasan). Kecerdasan ada dua macam; pertama: pemberian dari Allah swt (minhah) dan kedua: muktasab, dalam arti seseorang bisa menumbuh kembangkan dan mengupayakannya.

Sering-sering membaca buku, malu kita kalau tidak rajin membaca buku, jangan sampai kita terkena ejekan ummatu IQRA’ LA TAQRA’ (ummat yang wahyu pertamanya berbunyi IQRA’ kok malah tidak MEMBACA).

Sering-seringlah menuliskan apa-apa yang anda baca, anda dengar dan anda saksikan. Belajarlah merapikan ide-ide dan pengetahuan anda. Tuangkanlah segala gagasan anda dalam bentuk tulisan. Ingatlah bahwa wahyu kedua yang turun kepada nabi Muhammad saw adalah surat AL QALAM (pena), sebagaimana pendapat yang paling kuat yang dipegang para ulama’. Dalam surat ini Allah swt bersumpah dengan AL QALAM dan APA YANG DITULISKAN OLEHNYA.

Biasakanlah mengikuti dan melakukan diskusi-diskusi ilmiyah, ya … ilmiyah, bukan diskusi penuh emosi, adu otot, debat kusir dan semacamnya, akan tetapi , sekali lagi, diskusi ilmiyah.

Ajarkanlah apa-apa yang telah anda ketahui kepada orang lain. Atau istilah para ulama’: tunaikanlah zakat ilmu anda, sebab, dengan zakat ilmu ini, ilmu anda akan bersih (thahir) dan semakin tumbuh dan berkembang dengan lebih baik (tazkiyah). Kalau istilah guru kampung saya, ilmu itu ibarat api (sebenarnya yang lebih pas sih cahaya, nur, tapi nggak mengapa-lah), bila kita mempunyai api, lalu ada orang lain datang membawa kayu, dan ia meminta api kepada kita, maka api itu akan semakin besar dan semakin banyak.

2. Hirsh (semangat). Menurut saya, hirsh itu adalah hasil dari kesadaran, kesadaran akan kelemahan dirinya dalam ilmu pengetahuan, kesadaran bahwa dirinya mempunyai potensi untuk mendapatkan ilmu, kesadaran bahwa thalabul ‘ilmi itu faridhah, kesadaran bahwa dirinya –sebagai da’i- mesti dan harus berbekal ilmu dan kesadaran bahwa dirinya termasuk dalam kategori orang-orang yang la yadri lakinnahu yadri annahu la yadri (tidak tahu, tetapi tahu bahwa dirinya tidak tahu), bukan orang-orang yang la yadri wala yadri annahu la yadri (tidak tahu, dan ia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu), sebagaimana yang diungkapkan Imam Ghazali dalam kitab Ihya’-nya. Saudara dan saudariku yang dimulyakan Allah swt … Sebagai kader da’wah, kita tidak boleh kehilangan hirsh ini, jangan sampai kita datang ke majlis ta’lim untuk sekedar memenuhi buku kehadiran, atau karena pertimbangan daripada, daripada…kita harus datang ke majalisul ‘ilmu karena sifat hirsh kita, dan dalam rangka memenuhi faridhah islamiyyah.

3. Ishthibar (penuh kesabaran). Ilmu adalah kesabaran, jangan banyak keluh kesah, jangan terburu-buru, dan jangan frustasi.

4. Bulghah (biaya, ongkos). Berbagai acara ta’lim yang sangat murah, bahkan gratis, artinya, persyaratan ini telah banyak dipangkas olehnya, karenanya, jangan kehilangan persyaratan lainnya.

5. Irsyadu Ustadz (petunjuk dan bimbingan guru). Menghidupkan kembali apa-apa yang ada pada salafush-saleh. Diantara yang ada pada mereka adalah adanya model-model QARA-A ‘ALA (membaca kitab/ilmu dihadapan … ), SAMI-‘A MIN (mendengar pembacaan kitab/ilmu dari …), AKHADZA ‘AN (mengambil dalam arti mendapatkan kitab/ilmu dari …), HASHALAL IJAZATA MIN (mendapatkan ijazah atau ijin untuk mengajarkan kitab/ilmu dari …) dan seterusnya. Karenanya, kita semua harus menghidupkan kembali sunnah (jalan, dan metode) ini, sebab, salah satu tolok ukur ke-orisinil-an sebuah ‘ilmu adalah diambil dari mana (siapa gurunya) dan siapa saja yang belajar kepadanya.

6. Thulu Zaman (dalam jangka waktu yang panjang). Janganlah mengandalkan hal-hal yang serba KILAT, kursus kilat, belajar cepat, dan semacamnya. Ingat, Rasulullah saw menerima Al Qur’an bukan dalam tempo cepat, padahal beliau adalah orang Arab, dari suku yang paling fasih bahasanya, dan beliau sangatlah cerdas dan masih banyak lagi kelebihan beliau, namun, beliau menerima Al Qur’an itu dalam tempo lebih dari dua puluh dua tahun (22 tahun lebih).

Dan akhirnya, semoga Allah swt senantiasa menambahkan ilmu kepada kita dan menjadikan semua ilmu kita itu bermanfa’at fid-diini wad-dun-ya wal akhirah, amiiin.

Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidakan akan pernah kami publish Kolom yang wajib diisi ditandai *